Dari Sampit ke Gadjah Mada
Published:
Another Exu, just because. Di artikel sebelumnya memang ngebahas sekilas keluh resahku waktu SMA. Sebenarnya ini mau kutulis jadi thread di Twitter lagi tapi ya ga enak nulis kepotong gitu. Kalo di FB fokus nge-shitpost aja jadinya udahlah aku tulis di sini aja. Emang sih rada mirip juga dengan thread di Twitter itu tapi yang ini bisa lebih banyak aja kalau kutulis di blog.
Kali ini lebih condong ke “Mengapa UGM?” Iya… ini pokoknya buat ngejawab itu aja sih. Apa alasan aku yang jelas-jelas orang daerah dari hampir antah berantah buat mengambil pendidikan tinggi yang seleksinya sangat beresiko. Kembali ke masa kecilku, sedari SD aku sebenarnya ngemimpi jadi dokter. Aku kepingin ngambil kuliah di Fakultas Kedokteran UGM. Tiap tahun dan tiap berganti jenjang aku selalu jawab dengan sama, FK UGM. Gitu aja. Anggapannya aku memang orang yang terlalu idealis.
Selain itu, ayahku juga alumni dari Universitas Gadjah Mada. Ia bersikeras meniatkan aku untuk ikut juga berkuliah di UGM. Sebelum lanjut, di UGM itu ayahku hanya mengambil studi pascasarjana (S2). Sebelumnya ia menempuh pendidikan sarjana di UNS Solo. Pendidikan dokter karena cita-cita ayahku ingin berkuliah di jurusan itu tetapi terbatas oleh biaya pendidikannya yang saat itu tinggi bagi kondisi ekonomi keluarga ayahku. Iya… dorongan orang tua juga sih.
Puncak idealismeku itu terjadi ketika masuk SMA. UGM, UGM, dan UGM. Pernah ditanya sasaran perguruan tinggi yang ingin kuambil waktu itu, di pilihan pertama aku mengambil UGM, pilihan kedua aku mengambil gap year. Semasa kelas 10 pernah dibilang kalau SMAN 1 Sampit sempat beredar rumor masuk blacklist UGM karena ada kating yang menolak SNMPTN di situ. Benar aja orang-orang yang awalnya bersemangat seperti aku perlahan mundur semua. Selain aku. Karena hal itu aku semakin bersemangat. Tanpa track record alumni sebelum tahun 2020, tanpa peluang yang menjanjikan karena faktor wilayah, dan blacklist. Hey, kapan lagi dapat rasa puas ketika berhasil melewati jalan terjal begitu? Kenapa sebelum tahun 2020? Pada tahun 2020 sudah ada katingku yang masuk di situ, walaupun beda fakultas dengan fakultas tujuanku. Setidaknya ada dulu.
Februari 2020, presentasi untuk final GM ULM
Sebelum tahun 2021 yang kupersiapkan hanyalah nilai rapor dan prestasi. Persiapan UTBK? Nol. Bahkan aku enggak kepikiran buat persiapan UTBK. Iya, aku terlalu percaya diri dan egosentris pada waktu itu. Sekarang? Mungkin juga. Yang menilai itu bukan diriku, tapi lingkunganku. Aku enggak berani menilai gituan sendiri. Ya… tiga tahun dari kelas 10 entah kenapa belajar dan mengajar. Pokoknya peringkat 1, enggak peringkat 1 ya serasa udah mati impian. Persiapan UTBK nanti-nanti aja gegara sudah yakin setelah 5 semester udah peringkat 1 terus dan lomba yang sekiranya begituan.
November 2020, video untuk final MC ULM
Titik pindahku ke jurusan matematika mulai setelah aku lebih aktif ikut olimpiade matematika terutama KSN. KSN 2020 itu salah satu olimpiadeku yang paling terpuruk tapi juga yang terbaik. Terpuruk kenapa? KSN 2020 aku hampir gagal masuk ke jenjang provinsi. Benar-benar memalukan. Iya… semua itu emang karena aku egois dan aku yang sempat terbutakan sama hal yang ‘bodoh’. Udahlah… aku ngilang selama beberapa bulan akibat itu. Syukur pandemi datang buat ngebantu aku ngilang. Tahun 2020 pokoknya murni belajar materi olimpiade matematika, pokoknya kembali tembus ke permukaan. Dari sekiranya bulan April aku mulai aktif lagi belajar matematika sampai KSP jalan di bulan Agustus. Di tengah itu datang pikiran, “Lu kalo lulus dan masuk FK gimana? Yakin mau ninggalin semua yang lu pelajarin?” Di situ pikiran mulai lompat-lompat pilih jurusan yang mana. Sampai di titik aku cukup paham jurusan aktuaria, ‘bermatematika’ tanpa bermatematika.
November 2019, with Mrs. Morta in front of Auditorium FMIPA UGM at LMNAS 29
Cuma dua jurusan yang kupikirin bakal kuambil, antara matematika atau aktuaria. Sementara ini memang aku bercita-cita jadi data scientist atau aktuaris dengan pilihan terakhir jadi dosen melanjutkan pekerjaan ayahku saat ini. Satu-satunya penyesalanku saat ini adalah aku yang kurang bodoh membaca peluang. Peluang itu bodoh. Peluang itu omong kosong. Aku kemakan peluang yang mana jurusan Matematika UGM lebih besar peluangnya daripada Aktuaria UGM. Beneran aku benci sama page instagram yang ngepromosiin peluang, peluang, dan peluang. Aku unfollow semua yang begituan, benar-benar bodoh.
“Tunggu dulu, SNMPTN gimana? Kan kamu gak keterima gegara ga baca peluang. Matematika aja udah nolak apalagi Aktuaria dong?” F**k it, man. Aku ngaku kalo itu emang kesalahanku sendiri. Gagal SNMPTN juga yang semakin nyuruh aku buat ambil peluang. Bahkan saat itu ayahku yang cukup yakin aku bisa dapat SNMPTN berandai-andai mengapa aku enggak ngambil Matematika IPB saja saat itu, toh ada orang di kelasku yang berhasil masuk situ lewat jalur SNMPTN.
Aku syukur udah mulai belajar dari Januari 2021 walaupun sekadar mahamin pola soal TPS di buku wangsit Om Jero dan latihan soal matematika sekaligus mendalami kembali konsep fisika sampai awal Maret. Di bulan Februari aku bahkan hampir enggak ada kemajuan akibat aku yang malas-malasan karena sibuk main Genshin Impact. Sekiranya waktu Februari sampai Maret aku cuma tryout setiap malam minggu, Sabtu Pahamify dan Minggu Eduka. Itupun melelahkan banget, kupotong jadi satu minggu satu Pahamify dan satu minggunya lagi satu Eduka. Cukup ideal. Ngerangkum? Aku ngebaca semua buku paket materi dari kelas 10 sampai kelas 12, habis selesai langsung hantam latihan sekiranya 10 sampe 20 soal. Pokoknya efisien. Ya… lengket sih. Sepanjang waktu itu aku cuma belajar sekiranya 1 sampai 2 jam sehari aja, porsi orang biasa. H-7 SNMPTN aku gugup dan enggak belajar lagi.
“Hiya hiya hiya ditolak, mampus lo bocil idealis,” ucap aku ke aku. Reality hits hard.
Wah aku kepikiran lagi, buat apa aku buat judulnya Dari Sampit ke Gadjah Mada, ya? Apa hubungannya dengan bacaan ini? IDK I want to make some inspirational words to others in Sampit but instead I’m making keluh resah part 2. Anggap aja clickbait ya.